Jejak Kelam “Insiden Kansas” di Pariaman: Luka Rasial di Balik Hengkangnya Etnis Tionghoa - Situhuk
PORTAL SITUHUK
Memuat berita terkini...

Breaking

Gambar Tampilan Penuh

BERITA UTAMA

Senin, 16 Juni 2025

Jejak Kelam “Insiden Kansas” di Pariaman: Luka Rasial di Balik Hengkangnya Etnis Tionghoa


Di sepanjang sejarah Nusantara, keberadaan etnis Tionghoa kerap meninggalkan jejak kuat dalam bidang ekonomi, budaya, dan sosial. Mereka dikenal sebagai komunitas perantau yang ulet, berdagang di mana saja, dan membaur dalam dinamika lokal. Namun, sejarah tak selalu penuh harmoni. Ada episode kelam yang membungkam keberadaan komunitas ini di sejumlah daerah. Salah satunya adalah di Kota Pariaman, Sumatera Barat, yang hingga kini dikenal sebagai daerah yang nyaris tidak memiliki lagi pemukiman etnis Tionghoa.


Di balik kenyataan ini, tersimpan tragedi sejarah yang dikenang sebagai Insiden Kansas, sebuah peristiwa berdarah yang terjadi sekitar tahun 1944, menjelang berakhirnya pendudukan militer Jepang di Indonesia. Lokasi kejadian berada di Simpang Kampuang Cino, tepat di titik yang kini berdiri Tugu Tabuik, ikon budaya Tabuik Pariaman yang sarat simbolik.


Awal Mula: Ketegangan dalam Bayang-Bayang Penjajahan

Sebelum peristiwa tersebut, kehidupan antara penduduk lokal dan komunitas Tionghoa di Pariaman berjalan relatif harmonis. Komunitas Tionghoa memiliki kawasan pemukiman tersendiri di Kampung Chino, yang meliputi Jl. Sutan Bagindo Alamsyah (Kp Balacan), Kp Jawo, dan Kp Pondok. Mereka aktif sebagai pedagang, pemilik toko, pengelola pabrik roti dan sabun, hingga distributor kebutuhan pokok seperti rempah-rempah dan “kumango” (bumbu dapur khas Minang). Tempat ibadah mereka berdiri megah di sekitar Simpang Tabuik, bersebelahan dengan toko-toko yang kini dikuasai oleh warga lokal.


Namun, masa-masa akhir penjajahan Jepang ditandai oleh ketegangan yang memuncak. Ketika tentara Jepang terus menekan gerakan pejuang pribumi, sejumlah informasi penting tentang lokasi persembunyian dan rencana perlawanan kerap bocor dan berujung pada penangkapan atau eksekusi. Kecurigaan pun mulai mengarah pada adanya pengkhianatan dari kalangan sipil, terutama mereka yang punya akses terhadap kegiatan ekonomi dan relasi luas dengan tentara Jepang termasuk beberapa oknum dari komunitas Tionghoa.



Kansas: Bukan Nama Tempat, Tapi Alat Eksekusi


Nama “Kansas” bukanlah nama daerah, melainkan berasal dari sebutan lokal "Kanso", yakni lembaran logam tajam dari bekas kaleng semacam seng tebal yang dijadikan alat eksekusi. Istilah ini kemudian digunakan untuk menamai tragedi yang menimpa tiga orang keturunan Tionghoa yang diduga menjadi mata-mata tentara Jepang.


Menurut penuturan saksi hidup dan sumber lokal seperti Pariaman Today, insiden ini bermula dari penyelidikan gerilya para pejuang yang mulai mencurigai adanya kebocoran informasi. Anak-anak pun diutus untuk memata-matai aktivitas di sekitar kedai kopi dan tempat pertemuan yang sering dikunjungi tentara Jepang. Melalui metode yang sederhana namun efektif bermain di dekat lokasi-lokasi tersebut mereka berhasil menangkap sinyal kuat adanya komunikasi rahasia.


Salah satu lokasi yang diamati adalah sebuah kedai kopi di Kp Balacan, yang ternyata menjadi tempat berkumpulnya seorang informan Jepang berdarah Tionghoa. Ia bukan pemilik kedai, melainkan pelanggan tetap. Bersama dua rekan lainnya, ia dituduh memberikan informasi posisi gerilyawan kepada tentara Jepang.


Ketiganya ditangkap secara diam-diam (“diambil malam” dalam istilah setempat), lalu diinterogasi di tempat persembunyian para pejuang. Setelah mengakui keterlibatan mereka dalam aksi spionase, mereka dijatuhi hukuman mati. Dengan menggunakan kanso dari bekas kaleng roti, ketiga pengkhianat itu dieksekusi dengan cara kejam: leher mereka digorok hingga nyaris putus. Mayat mereka diletakkan menjelang subuh di lokasi yang kini menjadi Tugu Tabuik, sebagai peringatan keras bagi siapa pun yang berkhianat.



Dampak Sosial: Hengkangnya Komunitas Tionghoa dari Pariaman


Peristiwa tragis tersebut mengguncang masyarakat. Tak hanya menjadi pelajaran bagi yang tersisa, tetapi juga membangkitkan ketegangan rasial yang tak terhindarkan. Meskipun tidak semua anggota komunitas Tionghoa terlibat dalam spionase, stigma dan ketakutan meluas ke seluruh komunitas. Dalam waktu singkat, hampir seluruh keluarga keturunan Tionghoa di Pariaman mengungsi keluar kota ada yang menuju Padang, Bukittinggi, Pekanbaru, bahkan ke luar Sumatera.


Rumah-rumah, toko, dan aset mereka banyak yang ditinggalkan. Sebagian dijual dengan harga murah melalui perantara, sebagian lainnya beralih tangan secara tidak resmi. Jejak pemakaman mereka Pandam Pakuburaan di belakang Makodim 0308 menjadi saksi sunyi akan eksistensi yang pernah ada namun kini nyaris tak berbekas.



Catatan Reflektif


Insiden Kansas adalah kisah tentang konflik yang meletus karena hilangnya rasa percaya dalam masyarakat yang sedang berada di bawah tekanan kolonial. Ini bukan sekadar cerita tentang etnis tertentu atau pengkhianatan, melainkan gambaran bagaimana kekacauan perang bisa menciptakan luka sosial yang dalam, menimbulkan perpecahan, dan menghapus jejak suatu komunitas secara kolektif.


Kini, lebih dari 80 tahun setelah kejadian itu, Pariaman tak lagi memiliki komunitas Tionghoa yang signifikan. Namun sejarah betapa pun kelamnya patut dituliskan dan dikenang, bukan untuk mengungkit luka lama, tetapi sebagai pelajaran bagi generasi masa depan. Bahwa keharmonisan antar etnis adalah pondasi penting dalam menghadapi tekanan dan konflik apa pun, dan bahwa generalisasi terhadap kelompok atas kesalahan individu hanya akan menambah bara api dalam sejarah yang semestinya bisa damai.


Editor: Redaksi Artikel Bintang Selatan Sumber: Sumber Raya/Pariaman Today

Tidak ada komentar:

Posting Komentar