Hiroo Onoda: Prajurit Terakhir dalam Perang yang Sudah Usai
Bayangkan hidup selama hampir tiga dekade di tengah hutan, selalu siaga, membawa senjata, dan percaya bahwa dunia masih dalam keadaan perang. Sementara kenyataannya, dunia telah lama damai.
Inilah kisah nyata Hiroo Onoda, seorang letnan intelijen tentara Kekaisaran Jepang, yang menjadi simbol tragis dari kesetiaan, kesalahpahaman, dan absurditas perang.
Tertinggal dalam Sejarah
Tahun 1944, saat Perang Dunia II mendekati akhir, Onoda ditugaskan ke Pulau Lubang, Filipina, dengan satu misi: bertahan, sabotase, dan jangan pernah menyerah — bahkan jika harus bersembunyi selama bertahun-tahun.
Namun satu hal yang tak pernah ia duga: Jepang akan menyerah lebih cepat daripada dia menerima kenyataan.
Ketika Jepang resmi menyerah pada 15 Agustus 1945, dunia pun mulai membangun kembali peradaban yang porak-poranda. Tapi di belantara Lubang, Onoda dan rekan-rekannya menganggap semua itu hanyalah propaganda musuh. Bagi mereka, perang belum selesai — karena tidak ada perintah langsung dari atasan untuk mundur.
Perang Sendiri di Tengah Damai
Selama 29 tahun, Onoda hidup seperti hantu perang: bergerilya, menyerang warga lokal, mencuri makanan, dan bersembunyi di gua serta semak belukar. Dia menolak semua selebaran yang menyatakan bahwa perang telah usai. Bahkan ketika keluarganya sendiri datang dan memohon agar ia pulang, Onoda tetap menolak. Baginya, seorang prajurit sejati hanya tunduk pada satu hal: perintah resmi atasannya.
Teman-temannya satu per satu gugur, tertembak dalam pertempuran yang hanya mereka percaya sebagai nyata. Hingga akhirnya, tinggal Onoda seorang diri — sendirian dalam perang yang telah lama hilang dari peta dunia.
Akhir dari Misi yang Tak Pernah Ada
Tahun 1974, seorang petualang muda asal Jepang bernama Norio Suzuki berhasil menemukannya. Suzuki tidak membawa senjata, hanya keyakinan dan keberanian. Ia tidak datang sebagai musuh, melainkan sebagai pembawa pesan masa depan. Namun Onoda tetap tak percaya — hingga Suzuki kembali bersama seorang pria tua yang mengenakan seragam tua: mantan komandannya, Mayor Taniguchi.
Di situlah akhir kisah ini menemukan babnya. Dengan air mata dan rasa bangga yang bercampur luka, Onoda menyerahkan senjatanya. Bukan karena kalah, tapi karena akhirnya ia menerima perintah.
Loyalitas atau Luka Sejarah?
Kisah Hiroo Onoda membingungkan sekaligus menggugah. Apakah ia pahlawan setia yang teguh pada sumpah militer, atau korban dari doktrin militer yang membutakan hati nurani?
Dalam wawancara setelah pulang ke Jepang, Onoda menyatakan bahwa ia tidak menyesal. “Saya hanya menjalankan perintah,” ujarnya. Tapi dunia bertanya: berapa banyak kehidupan yang telah hilang karena ia terlalu patuh pada perang yang tak lagi ada?
Warisan dari Hutan Lubang
Onoda hidup hingga usia 91 tahun dan meninggal pada 2014. Sebagian melihatnya sebagai simbol dedikasi militer, sementara yang lain menganggapnya sebagai pengingat pahit bahwa dalam perang, kebenaran bisa menjadi ilusi yang mematikan.
Yang pasti, kisah Onoda tak akan pernah dilupakan. Ia adalah pria yang terus bertarung — bahkan ketika tidak ada lagi musuh, hanya kenangan dan hutan sunyi yang tersisa.
Dalam dunia yang terus berubah dan penuh informasi, mungkin kisah seperti ini tak akan pernah terulang. Tapi di masa lalu, di balik dedaunan lebat Filipina, pernah ada seorang lelaki yang percaya bahwa tugasnya belum selesai. Dan ia bertahan, hingga perintah terakhir datang, 29 tahun kemudian.
Sumber: Facebook
YouTube:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar